Jumat, 27 Maret 2009

Perang Bintang di Langit Seragam Coklat?

( Yang bingung: Mahasiswa Testee Placement Test Angkatan 54 :P)

Kasus Perang Bintang antar mantan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman SS dengan Kapolri Jendral BHD (lihat lampiran bawah) soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) rupanya merupakan topik hangat di mana-mana di Republik kita ini. Apalagi di tubuh institusi kepolisian termasuk juga di PTIK yang mahasiswa-mahasiswanya notabene adalah officers in uniform. Biar mahasiswa tapi masih polisi juga.
Dalam dunia pendidikan Bahasa Inggris di PTIK, maka hal ini tentu menjadi topik yang menarik juga, donk.. Intinya, dalam mengemukakan pendapat, kau harus mempunyai kosakata perbendaharaan bahasa Inggris dan juga structure serta mampu mengkomunikasikannya kepada lawan bicaramu. Semakin baik presentasi dalam mengemukakan pendapatmu, maka tentu saja your Score will be getting higher.

Maka pada Oral Test alias Speaking untuk Placement Test kali ini, diajukanlah topik tersebut. (Ini ide Bu Rohani,lho) hehe.
The question was just simple, " What is your opinion about what happened in Jatim (the conflict between Chief of INP , BHD, and the Head of District Police Command, Herman SS)?"

Mostly, the students answered that it is a political conflict. Some students pro Herman and some others joined BHD since he is their leader. Tapi kami encourage mereka supaya menyatakan what his personal opinion is. Jadi, ya banyak yang berbeda pendapat, lah.

.... (TBC)--> to be continued


Lampiran :
Jenderal Polisi Mundur, Buah Perang Antar Angkatan

Ditulis Oleh Detik.com, 20 Maret 2009
Sehari penuh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengadakan rapat, Kamis, 19 Maret 2009. Lembaga pengawas korps berseragam cokelat ini membahas konflik mantan Kapolda Jawa Timur (Jatim) Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja dan para petinggi Mabes Polri.Rapat itu kemudian sepakat membentuk tim investigasi yang dipimpin DR Erlyn Indarti dan Novel Ali. Keduanya akan terbang ke Jatim untuk menemui sejumlah kalangan, seperti akademisi, LSM, KPUD, dan Panwaslu. "Kami akan menganalisa semua temuan-temuan tersebut untuk dijadikan bahan masukan bagi Mabes Polri," jelas Novel Ali kepada detikcom.Salah satu persoalan yang akan ditelaah adalah soal dugaan intervensi Mabes Polri terhadap Kapolda Jatim terkait penyidikan kasus pilkada Jatim.Sebelumnya Polda Jatim menetapkan Ketua KPUD Wahyudi Purnomo sebagai tersangka kasus penyimpangan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di Sampang dan Bangkalan, Madura. Namun Mabes Polri kemudian mendesak Kapolda Jatim untuk membatalkan status tersangka Wahyudi.Desakan Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri (BHD), melalui Kabareskrim Susno Duadji dianggap Herman sebagai intervensi. Apalagi posisinya kemudian digeser dari jabatannya sebagai Kapolda. "Kami akan melakukan studi yang komprehensif dan obyektif, terutama tentang penafsiran soal intervensi," ujarnya.Dikatakan Ali, perbedaan pendapat antara Herman dan pimpinan Mabes Polri sebenarnya sangat positif. Sebab itu menandakan adanya keterbukaan di institusi tersebut. Bukan terjadi perpecahan.Namun sebuah sumber detikcom di Mabes Polri mengungkapkan sebaliknya. Menurutnya, perpecahan di korps kepolisian bukan hal yang baru. Konflik antara Herman dan Kapolri merupakan salah satu gambaran perpecahan tersebut.Kata sumber itu, langkah Herman untuk membeberkan masalah intervensi Kapolri terhadap kasus Pilkada Jatim, didukung sejumlah perwira, terutama yang satu lulusan dengannya, yakni angkatan 1975."Langkah Herman banyak didukung perwira menengah (pamen). Mereka sangat menganggumi sosok Herman yang bersih, cerdas dan berani. Sementara Kapolri didukung para jenderal, terutama yang satu angkatan dengan Kapolri BHD, yakni lulusan 1974," ungkap sumber tersebut."Perang" antar petinggi Polri berdasarkan lulusan akpol selama ini santer terdengar. Saat ini lulusan akpol yang mendominasi pimpinan Polri adalah angkatan 1974 versus 1975.Saat ini, jelas sumber tersebut, jabatan-jabatan strategis di Polri dikuasai angkatan 1974 yang dipimpin BHD. Sementara para perwira lulusan 1975 pelan-pelan tersingkirkan.Adanya faksi-faksi di tubuh Polri juga diakui Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta Sanusi Pane. Menurutnya, munculnya kelompok-kelompok di tubuh Polri sudah terjadi sejak 2000.Parahnya lagi, imbuh Neta, sejumlah elit banyak yang memanfaatkan perpecahan di tubuh Polri untuk kepentingan politik. "Menjelang pemilu kali ini Polri sangat rentan dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu di luar Polri," ujar Neta.Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar juga menyayangkan adanya pengelompokan d tubuh Polri. Pasalnya, munculnya kelompok-kelompok di Polri akan mengurangi tugas dan pengabdian institusi tersebut kepada masyarakat.Hal negatif lainnya, ujar Widodo, dalam perekrutan atau promosi jabatan di lingkungan Polri akhirnya tidak lagi berdasarkan merit system atau berdasarkan kapasitas dan kinerja. Melainkan kedekatan calon dengan para petinggi atau kelompok tertentu di Polri."Perpecahan yang terjadi di lingkungan petinggi Polri saat ini, salah satunya akibat perekrutan dan pengangkatan yang tidak berdasarkan sistem yang benar. Sebab umumnya hanya berdasarkan kedekatan dengan kelompok tertentu," pungkas Widodo.
/**/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar